Kamis, 10 September 2015



BUKU SERI ETNOGRAFI KIA 2012 Etnik Jawa
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang saat ini tengah berupaya menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) yang masih cukup tinggi. Sesuai kesepakatan global MGDs (Millenium Development Goals) tahun 2000, Indonesia masih perlu kerja keras untuk menurunkan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup di tahun 2015. Berdasarkan Survei Demografi Indonesia (SDKI) 2007, data menunjukkan bahwa AKI 228 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 34 per 1.000 kelahiran hidup. Untuk itu perlu adanya inovasi KIA untuk menyelamatkan perempuan agar kehamilan dan persalinan dapat dilalui dengan sehat, aman, dan menghasilkan bayi yang sehat.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasioanal (Susenas 2007) menunjukkan bahwa hanya sekitar 35% penduduk sakit yang mencari pertolongan ke fasilitas pelayanan kesehatan. Sebesar 55,4% persalinan terjadi di fasilitas kesehatan dan 43,2% melahirkan di rumah. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2010), dari sejumlah ibu yang melahirkan di rumah, 51,9% ditolong oleh bidan dan 40,2% ditolong oleh dukun bersalin. Data Riskesdas 2010 juga menunjukkan bahwa setahun sebelum survei dilakukan, 82,2% persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan. Namun masih ada kesenjangan antara perdesaan dan perkotaan. Di perkotaan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan 72,5% dan di perkotaan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan 91,4%.
Masalah kesehatan ibu dan anak tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat tempat mereka berada. Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan tradisional seperti konsep-konsep mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab akibat, dan konsep tentang sehat dan sakit, serta kebiasaan-kebiasaan ada kalanya mempunyai dampak positif atau negatif terhadap Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Bisa jadi budaya merupakan salah satu sebab yang mendasari tingginya kematian ibu dan anak, selain faktor-faktor seperti kondisi geografi, penyebaran penduduk, dan kondisi sosial ekonomi.
Rencana Strategi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010-2014 tentang program Gizi dan KIA menyebutkan indikator tercapainya sasaran hasil tahun 2014, yaitu persentase pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih sebesar 90% dan kunjungan neonatal pertama (KN1) sebesar 90% serta persentase balita yang ditimbang berat badannya sebesar 85% (Kemenkes RI, 2010).
Kekayaan budaya Indonesia dari berbagai suku bangsa yang tersebar di seluruh Indonesia telah mewarnai upaya kesehatan. Upaya kesehatan bisa berupa pelayanan konvensional maupun tradisional dan komplementer berupa kegiatan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif.
Di Indonesia para ahli kedokteran menghadapi kenyataan dan telah menyadari bahwa usaha peningkatan kesehatan masyarakat yang dilakukan tidak mencapai sasaran yang diharapkan. Analisis kedokteran tentang sakit tidak sepenuhnya diterima secara memuaskan oleh masyarakat. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pengertian (konsep) sakit antara masyarakat dan tenaga kedokteran (Rienks dan Iskandar, 1981). Sistem pelayanan kesehatan, di samping pelayanan kesehatan modern, juga meliputi sistem pelayanan kesehatan berbasis masyarakat, termasuk di dalamnya pengobatan dan cara-cara tradisional. Untuk itu, keterlibatan para ilmuwan sosial terutama antropolog dan sosiolog di bidang kesehatan semakin penting. Upaya KIA di setiap daerah dengan etnis tertentu menjadi permasalahan yang memerlukan kajian lebih mendalam dan spesifik menyangkut aspek sosial budaya masyarakat yang bersangkutan.
Kabupaten Bantul merupakan salah satu wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tingkat perkembangan kesejahteraan keluarga di Kabupaten Bantul sampai dengan tahun 2008 mengalami perkembangan yang fluktuatif. Hal tersebut disebabkan adanya faktor krisis ekonomi yang cukup berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Jumlah keluarga pra-sejahtera atau keluarga miskin di Kabupaten Bantul relatif cukup tinggi (http://bantulkab.go.id/pemerintahan/sekilas_kabupaten_bantul.html). Walaupun demikian Kabupaten Bantul termasuk dalam 10 besar Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) terbaik di Indonesia. Hasil analisis Riskesdas 2010 menggambarkan nilai IPKM di kabupaten tersebut sebesar 0,91480. Pencapaian AKI dilaporkan sebesar 82,1 per 100.000 kelahiran hidup, AKB sebesar 9,8 per 1.000 kelahiran hidup dan AK Balita dilaporkan sebesar 11,6 per 1.000 balita (Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, 2012). Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan. Asumsi yang mendasari adalah ada hubungan yang signifikan antara kemajuan ekonomi masyarakat dengan tingginya status kesehatan masyarakat yang bersangkutan. Kabupaten Bantul dapat dikatakan secara nasional merupakan daerah atau masyarakatnya tergolong miskin, namun mempunyai IPKM yang cukup baik serta AKB dan AKI yang relatif rendah.

1.2 Kerangka Dasar Pemikiran
Tinggi rendahnya status kesehatan suatu masyarakat bukanlah hasil dari upaya seperti perbaikan ekonomi atau faktor medis, melainkan hasil dari berbagai faktor, termasuk faktor-faktor sosial budaya. Oleh karena itu, pemahaman tentang kearifan budaya masyarakat yang bersangkutan terkait masalah KIA perlu diperhatikan. Boleh jadi budaya masyarakat setempat merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan keberhasilan program KIA di suatu daerah atau masyarakat tersebut.
Pengembangan atau inovasi di bidang kesehatan dengan mengkaji aspek sosial budaya lokal perlu dilakukan di Kabupaten Bantul yang bermanfaat bagi upaya KIA di wilayah tersebut. Aspek sosial budaya perlu digali sebagai referensi agar dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tersebut yang nantinya dapat digunakan sebagai landasan melakukan intervensi dalam upaya meningkatkan KIA. Pemeliharaan kesehatan ibu prahamil dan bayinya sejak dalam kandungan diharapkan dapat mempersiapkan generasi penerus yang tangguh demi kesejahteraan bangsa Indonesia.

1.3 Tujuan Penelitian
Penelitan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh mengenai aspek potensi budaya masyarakat khususnya di Desa Gadingsari, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, DIY yang terkait dengan kesehatan ibu dan anak. Selain itu juga untuk memperkaya jumlah penelitian antropologi kesehatan di Indonesia yang sekarang ini jumlahnya masih terbatas.

1.4 Metode
1.4.1 Penentuan Daerah Penelitian
Riset etnografi KIA ini dilakukan di Desa Gadingsari, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penentuan Kabupaten Bantul berdasarkan hasil analisis data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2010) yang menunjukkan IPKM di Kabupaten Bantul termasuk dalam 10 besar terbaik di Indonesia seperti telah diuraikan dalam bab pendahuluan.
Dasar pemilihan lokasi penelitian tersebut atas saran dan pertimbangan Kepala Sub Bidang (Kasubbid KIA) Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul. Desa Gadingsari, Kecamatan Sanden dipilih karena kasus kematian ibu dan kematian bayi relatif rendah.

1.4.2 Pemilihan Informan
Salah satu hal yang terpenting dalam penelitian etnografi adalah pemilihan informan, karena informan sebagai sumber data. Pemilihan informan dalam penelitian etnografi KIA ini menggunakan teknik snow ball yang merupakan teknik pengambilan informan yang bermula pada salah seorang atau beberapa informan yang dapat dijadikan sumber informasi. Selanjutnya, informan tersebut merekomendasikan informan-informan berikut atau informan-informan lainnya.
Penelitian diawali dengan mencari informasi melalui aparat desa setempat yang diharapkan dapat memberikan rekomendasi tentang beberapa orang yang dapat dijadikan informan awal. Informan diperoleh setelah tim peneliti tinggal relatif cukup lama di daerah penelitian, yaitu sekitar dua minggu. Beberapa informan terpilih meliputi: aparat pemerintah desa, tokoh masyarakat, ibu hamil atau yang pernah hamil dan pernah melahirkan beserta keluarganya, petugas kesehatan beserta jaringannya, dukun bayi, dan warga masyarakat biasa. Orang-orang itu dipilih sebagai informan karena berasal dari kebudayaan yang menjadi setting penelitian dan pada saat penelitian mereka sedang terlibat langsung dalam kebudayaan masyarakat Desa Gadingsari. Jumlah informan dibatasi dengan maksud agar data yang diperoleh lebih fokus dan tidak melebar.

1.4.3 Sistematika Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif, sehingga tidak dilakukan pengujian hipotesis. Data meliputi data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari beberapa informan melalui wawancara mendalam, sedangkan data sekunder meliputi profil Desa Gadingsari, profil Kecamatan Sanden, profil kesehatan yang diperoleh dari Puskesmas Sanden, dan profil kesehatan Kabupaten Bantul yang diperoleh dari Dinas Kesehatan kabupaten setempat.
Semua data yang dikumpulkan dianggap mempunyai nilai penting. Oleh karena itu, pencatatan data dilakukan dengan sistematis menggunakan buku tulis, alat perekam hasil wawancara, dan kamera untuk mendokumentasikan informasi yang berupa gambar.
Sering kali dalam pelaksanaan penelitian peneliti mendapat informasi yang kurang jelas. Namun, hal tersebut dapat diatasi dengan mengobrol atau berdiskusi dengan informan. Untuk menggali informasi dari informan dilakukan wawancara mendalam. Untuk mendapatkan informasi yang terkait dengan topik penelitian digunakan panduan wawancara yang telah disusun secara matang menyangkut masalah KIA.
Selain wawancara mendalam, dalam penelitian ini digunakan pula metode partisipasi dan observasi. Partisipasi yang dilakukan adalah dengan tinggal di desa penelitian selama 50 hari dengan pendekatan kesetaraan. Anggota tim peneliti selama tinggal di lokasi penelitian berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat setempat. Oleh karena itu, setiap anggota tim peneliti bertindak sebagai warga desa biasa, serta berpartisipasi aktif dalam aktivitas sehari-hari warga desa, antara lain ikut menghadiri hajatan yang diselenggarakan warga dan mengunjungi atau menerima kunjungan warga atau tetangga sekitar tempat anggota tim peneliti tinggal di lokasi penelitian.
Metode seperti ini memperlancar tim peneliti dalam memperoleh informasi melalui wawancara mendalam. Pada dasarnya wawancara mendalam adalah tukar-menukar informasi yang sifatnya mendalam bagi kedua belah pihak (peneliti dan informan). Kedekatan emosional menjadi suatu kebutuhan dalam pengumpulan data, namun tidak berarti peneliti meninggalkan keobjektivitasan dalam melihat fenomena yang terjadi di masyarakat. Metode observasi melengkapi informasi atau data yang diperoleh melalui wawancara karena ada beberapa informasi atau data yang kurang lengkap yang diperoleh melalui wawancara, terutama mengenai pola kebiasaan atau perilaku yang berkaitan dengan kesehatan, baik dari informan maupun dari warga desa setempat. Data yang didapat melalui observasi ini dapat diperjelas dan diperluas melalui wawancara terhadap informan yang bersangkutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar